Sabtu, 14 Desember 2013

MENGGAPAI MIMPI DI TAPAL BATAS AJI KUNING, SEBATIK, INDONESIA



Desember, 2013
 
Aku datang kesini, ke tanah yang menjadi tapal batas indonesia-Malaysia disertai sebuah langkah kecil nan sederhana. Untuk berbagi ilmu yang aku punya dan untuk mencerdaskan generasi-generasi emas Indonesia yang ada di wilayah ini. Menjadi bagian dari daerah yang disebut tertinggal oleh sebagian orang. Tak hanya sebatas menjadi tapal batas, namun menjadi pintu gerbang dan potret pembangunan di negaraku.

Aku adalah anak pertama pasangan Bapak Asikin Umar dan Ibu Raminten. Universitas Lampung adalah almamater yang menghantarkan ku sampai di daerah ini, dengan bidang keahlian Pendidikan geografi. Aku menamatkan kuliah ku pertengahahun tahun 2013. Sebelumnya Aku telah menjadi tentor mengajar di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar terkenal di daerah asalku, Kota Bandar Lampung. Aku meninggalkan pekerjaan ku untuk mengisi perjuangan Kemerdekaan di Indonesia. Menjadi bagian dari pengajar muda program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).

Hidup adalah perjuangan. Itulah pepatah yang terus aku ingat. Pepatah yang aku dapatkan semasa menjadi mahasiswa dulu. Perjuangan itupun dimulai dari sejak masih dalam rahim, dan ketika aku lahir aku adalah seorang Pemenang. Hal inilah yang aku simpulkan bahwa setiap orang adalah pemenang sejak lahir. Kemenangan itu juga yang mengantarkan ku ke Pulau Sebatik, dalam rangka pembangunan pendidikan di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Dari 30.000 pendaftar hanya 3000 orang saja yang dikirim menjadi pengajar muda di seluruh Indonesia, dan salah satunya adalah aku.

***

Prasasti yang tertulis di depan Sekolah ku bertuliskan SMA Negeri 1 Sebatik Tengah. Itu adalah sekolah tujuan ku, Naungan ilmu ku selama 1 tahun ini. Disinilah tempat ku merajut asa selama di tanah rantau. Sekolah ku berdiri tahun 2010, atas inisiatif dari pemerintah setempat mengingat jumlah lulusan sekolah menengah pertama terus meningkat dan hal ini dirasakan perlunya sebuah sekolah baru. Sekolah negeri yang ada letaknya pun jauh dari desa ini.

Angkatan pertama sekolah ku dimulai tahun 2013. Empat tahun berjalan, sekolahku telah mengalami tiga kali pergantian personel pimpinan. dimulai dari Pak Sukardi sebagai pejabat PLT selama 2 tahun, selanjutnya Pak La Alimu selama dua tahun, dan sekarang adalah Pak Sudirman. Pak Dirman, begitulah kami menyapanya. Beliau telah menjadi bagian dari sistem pendidikan menengah di wilayah sebatik tengah selama dua bulan. Sebelum menjadi kepala sekolah, beliau adalah guru bidang kimia di SMA Negeri 1 Sebatik. Sebagai kepala sekolah baru, beliau memiliki komitmen yang tinggi serta Semangat nya yang membara memancarkan sebuah aura tersendiri disni. Seolah memecah suasana yang hening.

Guru berstatus plat merah berjumlah 4 orang, itu pun sudah termasuk pimpinan ku. 12 orang guru lainnya yang berstatus sebagai tenaga bantu. Mereka adalah pendidik-pendidik muda yang ingin mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan Indonesia. Status tak terlalu dipermasalahkan disini, yang terpenting adalah kontribusi aktif untuk memajukan pendidikan di tapal batas Indonesia. Guru yang ada saat ini adalah 21 orang. Sekolahku mendapatkan tambahan guru bantu lima orang. Jumlah ini dirasa sudah cukup mampu melayani 250 siswa yang ada. Kekurangan tenaga pengajar memang menjadi sebuah persoalan, namun kami disini bisa mengatasinya dengan baik. Jadikanlah masalah menjadi peluang. Itulah dinamika kehidupan pendidikan di daerah perbatasan.

***

Kerapihan, disiplin, dan tanggung jawab serta keramahan adalah kata kunci yang ada di sekolah ku. Banyak siswa yang masih belum paham mengenai esensi dari nilai-nilai tersebut. Mengingatkan siswa mengenai hal tersebut menjadi momok yang luar biasa. Para guru sudah beberapa kali berganti metode, peningkatan keteladan sikap itu juga telah mengalami sedikit peningkatan dari sebelumunya, namun hasil yang memuaskan belum juga di dapatkan. Alhasil, perjuangan menerapkan kedisiplinan berjalan terseok-seok seperti meander yang ada di daerah dataran rendah.

SMA Negeri 1 sebatik tengah belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Gedung yang ditempati sekarang juga masih menumpang di bangunan SD-SMP. Siswa menimba ilmu dengan alat-alat yang sederhana. Namun tak mengurangi arti dari sebuah pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berjalan selama ini masih berpusat pada guru, karena sumber belajar yang lain seperti buku, kurang memadai. Untuk penggunaan alam sebagai bagian dari metode pembelajaran telah dilakukan, mengingat tanah di daerah ini kaya akan hasil bumi.

Sebuah papan nama bertuliskan ruang TU SMA. Nyatanya itu adalah ruang ruang serbaguna, serba ada, dan ruang siapa saja. Ruang berukuran 6x4 meter itu adalah ruang TU, merangkap ruang Guru, sekaligus ruang Kepala Sekolah. Kesederhanaan ini tak membuat kami berkecil hati. Di ruang mini ini, para punggawa SMA terus bekerja keras demi terciptanya sebuah pendidikan yang berkualitas. Optimalsisasi dan keselarasan dengan jalannya sistem pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terus di geber, dengan sebuah alat sederhana, ingin menciptakan hasil yang luar biasa. Keteguhan guru-guru disini juga membuat pelayanan pendidikan di dapat dengan lebih mudah.

Sudah empat tahun sekolah ini berdiri. Jumlah siswa yang ada juga terus meningkat. Peningkatan ini merupakan dampak bahwa masyarakat daerah perbatasan sudah mengetahui bahwa peranan pendidikan dalam dunia kehidupan sangat penting. Mereka ingin menyeimbangakan keadaan pendidikan disini dengan negeri tetangga, Malaysia. Tak ayal, fasilitas pendidikan yang ada dipenuhi oleh siswa-siswi yang mayoritas orang tuanya bekerja sebagai tenaga kerja indonesia di Malaysia. Siswa disini juga terus bergonta-ganti, ada yang pindah, namun ada pula yang masuk.

***

Ada sesosok siswa yang membuat ku teretegun sejenak. Siswa yang mencuri perhatian ku selama di sekolah. Siswa ini berkerja sebelum sekolah dimulai, dan kembali bekerja setelah sekolah usai. Ada nama yang akan kusebut, ia adalah Rahwil. Jadi, siswa ku ini adalah siswa yang mandiri, bertanggung jawab. Ia memiliki pekerjaan tambahan yang berbeda-beda. Selama masa pengamatannku di sekolah, aku baru mengetahui kalo ia bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi.

Aco, panggilan akrab siswa kelas XII IPS dari teman-temannya. Dia memiliki seorang kakak laki-laki dan adik. Selama beberapa hari lalu, siswaku ini bekerja. Pekerjaannya terdolong cukup berat untuk ukuran siswa menengah atas. Dia bekerja sebagai kuli di proyek pembangunan jalan kendaraan roda dua di sekolah. Pekerjaannya itu juga terus berganti sesuai dengan "musim kerja", ada kalanya ia akan bekerja di kebun, menggali drainase, membangun rumah atau memasang keramik.

Alasannya bekerja adalah tidak ingin merepotkan anggota keluarganya, khususnya adalah kakak laki-lakinya. Upah yang didapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, membeli semua barang yang dibutuhkannya, termasuk peralatan sekolahnya. Ayah dan ibunya bekerja di daerah lain. 

Ini adalah sebuah dilema, dimana kewajiban utamanya adalah sekolah. Namun, karena tuntunan hidup yang begitu kuat memaksanya untuk melakukan ini. aku yakin dengan Optimisme dan ketekunannya untuk terus sekolah kelak akan menjadikannya sebagai orang besar. Gapai terus cita-citamu Siswaku. Kehidupan ini pasti akan berbuah menjadi sesuatu yang manis.

1 komentar :