Sabtu, 18 Oktober 2014

LEBARAN DI TANAH RANTAU



** Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar
   Laa ilahaillallah huallah huakbar
   Allahuakbar walillah ilham

Begitulah alunan merdu takbir semalam. Suaranya menggema sampai keseluruh daratan di negeri ini. Takbir ini takkan berhenti hari ini saja, selama 3 hari kedepan masih akan terdengar puji pujiaan ini. Perayaan idul adha dirayakan selama 4 hari yaitu tanggal 10,11,12 dan 13. Penduduk disini mayoritas beragama islam, tak heran ayat-ayat suci sudah sering terdengar dari pengeras masjid yang ada disini. Meskipun ada yang beragama lain, toleransi masih dipegang kuat. Tak ada pertentangan terjadi meskipun berbeda, karena negeri kita saja memiki ribuan suku dengan berbagai bahasa dan kebudayaan serta meyakini kepercayaan yang berbeda pula. Semboyan Bhineka Tunggal Ika masih dipegang erat di tanah ini.

Sekarang aku tinggal di Sempadan, daerah perbatasan Indonesia-Malaysia begitulah seorang ibu setengah baya menyebut Desa Aji Kuning ini. Disinilah tempatku mengabdikan diri selama 365 hari mendatang, 48 minggu, bisa disebut dengan satu tahun lamanya. Aku tinggal disini karena sedang melaksanakan pengabdian menjadi tenaga pendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal.

10 dzulhijah menghampiriku di tanah rantau, di tanah Kalimantan. Esok hari aku akan merayakan hari raya Idul Kurban. Hari dimana Nabi Ibrahim as Merelakan anak kesayangannya yaitu Ismail untuk disembelih. Namun, karena ketaatannya Allah mengganti Ismail as dengan seekor domba dari surga. Lebaran ini adalah lebaran pertama ku ditanah rantau, jauh dari keluarga, dari bapak-mamakku, adikku dan dari teman terdekatku.

Rasa rindu terkadang menyelinap dalam hati dan fikiranku. Teringat akan indahnya kampung halaman, keluarga serta orang-orang yang ada didalamnya. Aku merindukan mereka, aku ingin pulang, itulah hal-hal yang sempat terbersit di dalam fikiranku beberapa waktu lalu. Khayalan itu kelamaan memudar, akibat tergerus oleh aktivitas mengajarku disekolah. Ada hal yang lebih menantang menunggu di depanku, amanah yang diberikan oleh negeri ini mesti aku lakukan. Akhirnya fikiran – fikiran ingin pulang menghilang begitu saja.

Masih terngiang dalam otakku, “ kalau kamu ingin menjadi sebuah mutiara yang cantik dan indah ingatlah perjuangan sebuah kerang. Kerang yang merasakan sakit, meneteskan air mata ketika sebuah pasir menempel di tubuhnya. Ketika merasakan sakit dia tak bisa menggarukknya, tak bisa melepaskan pasir tadi dari badannya. Hari demi hari berjalan, dengan ketulusan, kesabaran, dan menahan semua rasa sakit yang ada kelamaan pasir itu berubah menjadi sebuah mutiara yang indah. Rasa sakit yang sebelumnya datang berganti dengan kebahagiaan” itulah pesan bapakku agar aku kuat bertahan di tanah rantau ini.

Untuk menjadi seseorang yang kuat dan dapat bertahan di dalam dunia yang penuh dengan ujian ini, mental dan fisikku mesti digembleng. Dunia itu kejam, dan untuk tinggal di dunia yang kejam ini dibutuhkan kemampuan beradaptasi yang tinggi, sehingga aku bisa diterima dengan baik. Lamunan ku sirna begitu saja, tergantikan oleh riangnya hati menyambut hari raya.

***

Suara takbir pagi ini memanggilku untuk menunaikan sholat berjamaah. Aku melaksanakan sholat idul kurban di masjid terdekat dengan rumah. Cuaca hari ini memang kurang bersahabat, sampai pukul 07.00 WITA sang surya pun belum menampakkan batang hidungnya. Tetesan air dari langit mengiringi jalannya sholat idul adha pagi ini. Beberapa jamaah sholat ditemani tetesan air mata langit. Suasana menjadi semakin tak menentu, namun sholat tetap berjalan dengan hikmad dan khusyuk.

Tetesan air langit semakin deras, langit juga terlihat semakin memucat. Dua kali salam juga telah dilaksanakan pertanda sholat ku telah usai. Aku dan jamaah yang lain segera memasuki Rumah Allah yang berdiri kokoh ini. Sampai kapan hujan ini akan reda, fikirku dalam hati. Hari raya pertama ku disambut dengan hujan. Hujan adalah anugerah dan rejeki, ku ambil saja sisi positifnya keberadaan ku disini.

Tak lama berselang, Bu Chia menyapa. Beliau adalah seorang guru bahasa inggris di sekolahku. Semangat mudanya masih membara, menggebu-gebu ingin ditunjukkannya kepada dunia. “Ada apa bu?” kataku. “kita1 duduk disini saja ibu”, seraya memberikan izin untukku duduk didekatnya dengan logat melayunya kental terdengar. Aku duduk disamping ibu chia dan kedua buah hatinya yang sangat cantik. Jiah dan jihan, itulah nama kedua jagoan kecil Ibu Chia.

Sembari menanti hujan reda, kami bercerita tentang daerah tempat tinggal ku sekarang ini. Mayoritas penduduk di pulau sebatik ini adalah perantau. Suku Bugis, Timor, Tidung dan  Jawa banyak mendiamai daerah disini. Meskipun ada suku yang lain, namun jumlahnya terbatas. Sulawesi selatan adalah kampung halaman Ibu Chia. Setelah lulus kuliah beliau merantau ke pulau sebatik ini, sempat menjadi guru honorer sebelum diterima menjadi Pengawai Negeri Sipil (PNS). Orang dari rantau rupanya ibu guru ini, Bisiku dalam hati.

Selama menanti hujan reda, aku bermain dengan jiah. Jiah terlihat lebih cepat bersosialisasi dengan orang yang baru dikenal bila dibandingkan dengan jihan. Jiah saat ini berumur 4 tahun, dan masih belum sekolah. Tahun lalu di bersekolah di kelas pendidikan anak usia dini, namun karena merasa bosan, dia tidak mau masuk sekoloh lagi. Jiah merupakan anak yang aktif dalam segala hal. Kami berfoto, bercerita dan mendengarkan celotehnya yang tak berhenti sepanjang hari itu.

Ada satu hal unik yang aku peroleh dari pertemuanku dengan jiah hari ini. Meskipun baru berusia 4 tahun, namun semangatnya untuk berbagi sudah tinggi. Dia begitu antusias ketika kotak amal beredar. Dengan cekatan dia ingin memasukkan uang yang sudah ia siapkan dari rumah tadi. “mana kotaknya?” jiah merengek dengan ibu chia ketika kotak amal tak kunjung sampai ke tempat duduk kami.

Kotak amal ini memutar mengelilingi jamaah yang hadir dalm sholat jamaah pagi ini. Dia telah melihatnya jamaah yang berada jauh dari kami telah memasukkan uang ke kotak, namun mengapa kotak tersebut tak samai ketempat kami. Alhasil Jiah merajuk2 karena tidak dapat beramal. Lucu memang anak ini, aku saja dibuat kebingunan olehnya. Bingung mencari dimana letak bangun kubus yang menghilang entah kemana. Barulah ketika mau pulang, Jiah diperkenankan untuk memasukkan uang di kotak yang berda dekat pintu masuk masjid, hal ituah yang membuatnya tersenyum kembali. Indahnya berbagi memang harus diajarkan sejak dini, setuju sekali aku dengan pendidikan ibu Chia ini. Aku sudah membayangkan jika nanti aku memiliki bauh hati, nanti mau di ajarkan ini, itu, pokokny banyak, namun itu masih berada dalam khayalan pagi ku.. Bu Chia pulang terlebih dahulu dengan kedua anakknya, sembari meminta aku untuk berkunjung kerumahnya yang tak jauh dari masjid.

***

Air langit juga tak kunjung berhenti, bahkan sang surya tampak malu untuk memunculkan diri pagi ini. Seorang ibu setengah baya menyapa ku, “ Dimana teman kita yang lain?”. Ini ada mb devi, kalau mb tanti ama mb bros blum tau ibu, ucapku. Itu adalah suara makcik sade, ibu kos yang berjalan menghampiri ku. Beliau mengatakan sebaiknya mampir dulu kerumah adiknya, karena rumahnya lebih dekat dengan masjid, bila dibandingkan langsung pulang ke rumah kami.

Aku mencari kedua temannku yang lain, mengajknya untuk segera pulang. Ku jumpai beberapa murid di sekolah, mereka mengucapkan selamat hari raya dan kami pun saling bersalaman. Setelah ketemu, barulah kami menuju rumah adik makcik. Perjalanan ini pun disertai rintihan air langit yang tak kunjung berhenti. Ku tutupi kepala ku dengan sajadah yang tadi kupakai untuk alas sholat.

Keputuskan untuk segera pulang ini dibuat mengingat rumah adik makcik tak jauh dari sini, dari masjid tempatku menunaikan ibadah. Sesampainya disana, kami disambut dengan suka cita, layaknya kebersamaan ketika merauakan idul fitri. Bersalam salaman, mengucapkan maaf dan selmat hari raya dan yang paling ditunggu adalah kami disuguhkan Buras, atau Burassa. Buras merupakan makanan khas suku bugis, kalau orang jawa menyebutnya dengan lontong, kalau orang lampung menyebutnya dengan sekubal3. Menikmati buras terasa nikmat jika ditemani dengan sop hangat dan teh panas. Racikan makanan ini sangat membantu menghangatkan badan yang menggigil kedinginan karena tersiram paparan air langit.

 Ditanah perantauan ini aku merasakan indahnya kebersamaan, berbagi dan suasana kekeluargaan yang masih erat dipegang teguh. Meskipun jauh dari orang tua dan keluarga yang lain, namun cintaku untuk mereka meletup-letup melebihi ambang batas normal. Tanah rantau tak selamanya membuat tak nyaman, jika kita bisa membuatnya nyaman, aman, dan membuatnya seperti tanah kelahiran, insyaallah kita akan betah untuk tinggal disini. Inilah daerahku, tempat tinggalku, tempatku mengabdikan diri, inilah Indonesia ku, semua tempat di dunia masih Bumi Allah, hidup indonesiku semakin cerah sinarmu.

Noted:
1. Kita artinya adalah kamu atau anda (bahasa melayu)
2. Merajuk artinya marah atau ngambeg
3. Makanan khas lampung yang terbuat dari ketan



Kk Ros - Macik Sade- Nuril -Desi
Kue Lebaran kami

Pejuang Pendidikan Kaltara #SM3T


# Desi Imanuni
Angkatan Ketiga SM-3T. 15 Oktober 2013. Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara

Selasa, 08 April 2014

EKSPRESI MAULID NABI SEBATIK



Menjadi seorang pendidik yang bertugas di pelosok negeri Indonesia memiliki sensasi dan tantangan tersendiri. Tugasnya tak hanya mengajar disekolah namun lebih dari sekedar mengajar. Sudah tujuh bulan ini aku dan empat orang rekanku menginjakkan kaki di tanah Borneo. Dalam proses pengabdian ini ada “beberapa bonus” yang di dapatkan, bonus tersebut tak hanya berkutat dalam dunia per-GURUan saja, atau tambahan gaji semata. Bonus yang dimaksud adalah dapat menikmat keindahan alam Indonesia lengkap dengan budaya-budayanya yang unik.



Siapa yang tidak mengenal Maulid Nabi??
 
Dalam masyarakat Bugis Makassar, masih sangat kental perayaan hari-hari besar Islam dengan nuansa adat kebudayaan suku Bugis Makassar. Salah satunya adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Semangat shalawat nabi menggema dimana-mana. Di Indonesia, 12 rabiul awal atau  kelahiran Nabi Muhammad SAW ini disambut begitu meriah oleh mayoritas umat muslim. Islam di Indonesia disebarkan dengan jalan yang apik, ramah, dan baik bukan menggunakan cara kekerasan atau konfrontasi sehingga melahirkan bentuk-bentuk asimilasi dan akulturasi dengan budaya asli Indonesia . Wajar saja jika muslim di bumi pertiwi ini masih kental dengan tradisi nenek moyangnya, dengan sedikit aura dinamisme maupun animisme-nya. Bedanya setelah islam masuk pandangan hidup masyarakat Indonesia berubah dan membuat budaya nenek moyang ini begitu religius.

Berbagai tradisi di seluruh nusantara memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing dalam memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Tanah bugis merayakannya dalam suatu tradisi turun-menurun dari masa ke masa. Setiap rumah menyiapkan menu makanan untuk dihidangkan kepada para tetangga atau tamu yang berkunjung dan dibawa ke masjid. Hidangan utamanya adalah telur rebus lengkap dengan kulitnya yang berwarna kemerahan dan Sokko [dalam bahasa indonesia ketan]. Hidangan tersebut bukan barang asing bahkan sudah menjadi primadona di kalangan tertentu. Yang paling unik adalah telur telur tersebut dihias menyerupai pohon lengkap dengan pernak pernik lainnya. Telur yang digunakan telah masak dan siap untuk disantap. Untuk versi yang lebih kecil, ibu ibu biasanya akan memasukkan sokko kedalam ember plastik diatasnya akan diberi hiasan bunga telur, mie maupun hidangan lainnya. 

Setelah semua warga berkumpul di masjid, maka akan dilakukan pembacaan doa diiringi dengan sedikit pesan dari tokoh agama setempat. Di puncak acara adalah petugas akan berkeliling membagikan bunga telur yang ada pada pohon-pohon pisang yang telah dihias dengan telur. Usai acara semua warga akan pulang sambil membawa serangkaian bunga telur [terkadang berebut].

tererengg...inilah hasil dari Maulid Nabi
[kami ber-lima, mendapatkan.......]


Maulid Nabi Muhammad SAW di Sekolah Pengabdian bersama Rekan SM-3T

EUFORIA JANJI DI KAWASAN PERBATASAN




“Dari sabang sampai merauke
berjajar pulau - pulau
Sambung menyambung menjadi satu
itulah indonesia”

Petikan lagu diatas menggambarkan keadaan kondisi geografi Negeri indah nan permai ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara maritim yang berada di equatorial line. Indonesia, nama sebuah negara kepulauan yang  memiliki luas 9 juta kilometer persegi, dimana 75% wilayahnya berupa lautan, pulaunya membentang dari ujung utara-selatan, dari bagian paling barat sampai paling timur. Indonesia memiliki garis pantai yang panjangnya mencapai 81 ribu kilometer. Dengan kondisi seperti ini membuktikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara Besar.

Secara geografis indonesia terletak dalam posisi yang sangat strategis.
Mengapa demikian?
Indonesia berada di antara benua Asia dan Australia serta diapit oleh dua samudera, pasifik dan Hindia. Sebuah posisi yang sangat menguntungkan yang diberikan oleh ALLAH SWT kepada bangsa yang ber-bhinekka ini.  Konsekuensi letak yang unik ini, indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tak tertandingi oleh negara tropiss lainnya. Sumberdaya yang ada di permukaan tanah berlimpah, bahkan di dalam air atau di dalam tanah sekalipun. Ini juga di dukung oleh sumber daya manusia yang melimpah jumlahnya.

Melihat deskripsi negeri ini, tentu orang akan beranggapan bahwa negeri ini kaya [sesungguhnya memang KAYA], makmur, sejahtera, negeri tanah bertuah dengan segala karunia didalamnya. Tak ada yang salah dengan pemikiran diatas, memang benar Indonesia kaya, dan sebagai warga negara yang baik kita mesti bersyukur atas anugerah yang telah diberikan. Namun jangan berfikir sedangkal itu, justru dengan situasi dan kondisi kompleks ini tantangan dan peluang yang dihadapi bangsa ini juga besar adanya. Hal ini berkaitan erat dengan rumusan konstitusi negeri ini, UUD 1945 alenia ketiga dan keempat.
“...kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negera Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Petikan UUD 1945 alenia keempat mencerminkan tujuan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sungguh mulia adanya.

Berkaitan dengan aspek kewilayahan, yang menjadi topik disini adalah bagaimana pemerintah indonesia dapat mewujudkan janjinya sebgaimana tertuang dalam UUD 1945, “ untuk membentuk suatu negara yang besatu, berdaulat, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sebuah tantangan besar yang mesti dihadapi oleh bangsa ini. Cobaan berat mengenai persatuan dan kesatuan wilayah telah menghinggapi indonesia, mulai dari lepasnya timor timur, pulau sipadan dan legitan.

Kawasan perbatasan memiliki nilai dan peran strategis terhadap kedaulatan, keutuhan, dan martabat sebuah negara.  Apabila “Pagar Depan”nya tak mencerminkan kedaulatan, keutuhan dan martabat, bagaimana dengan isi yang ada di dalamnya.  Kawasan perbatasan adalah suatu kawasan yang berbatasan dengan negara lain setelah ditetapkan batasnya melalui kesepakatan/perjanjian antar dua atau  lebih negara yang bertetangga, dimana kawasan perbatasan merupakan tanda berakhirnya kedaulatan suatu negara terhadap wilayah yang dikuasainya.

Republik indonesia berbatasan baik darat, maupun laut dengan sepuluh negara, antara lain berbatasan laut dengan Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Singapura, Timor leste, Thailand, Vietnam,  dan berbatasan darat dengan tiga negara yaitu negara Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Upaya pembangunan di Kawasan perbatasan ini tergolong lambat, berbeda dengan pembangunan di kawasan pulau Jawa, Sumatera, Bali atau daerah lainnya. Kondisi ini belum signifikan mencerminkan perubahan yang semestinya terjadi. Hal ini membuktikan bahwa kawasan perbatasan Indonesia belum layak disebut sebagai “PAGAR DEPAN” wilayah indonesia.  Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi pulau yang masih alami, ada yang berupa pulau batu, karang, atau pulau tidak berpenghuni, sehingga aksesbilitas pembangunannya sulit dilakukan. Untuk gambaran kondisi sosial ekonomi, dan budaya yang terjadi di kawasan perbatasan masih tergolong rendah.  

Sebagai informasi, penulis telah tujuh bulan tinggal di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Salah satu kawasan perbatasan darat dan laut dengan Negeri Sabah, Malaysia. Selama tujuh bulan ini, penulis melakukan pengamatan, adaptasi dengan lingkungan sekitar. Penulis berpandangan bahwa yang paling menghawatirkan adalah perubahan paradigma Ideologi. Perubahan ideologi ini dimungkinkan karena interkasi dengan negeri tetangga, sudah terjalin begitu erat bak pinang dibelah dua. Setiap hari masyarakat pulau sebatik lebih banyak mengkonsumsi bahan makanan dan minuman dari negeri tetangga, lebih sering menonton saluran televisi dan radio Malaysia, jual beli sandang, pangan, dan papan ke wilayah Malaysia . Hal ini dikarenakan aksesbilitas dari dan ke Malaysia lebih mudah, bekerja pun di perusahaan milik malaysia bahkan untuk komunikasi pun menggunkan bahasa Melayu (sabah, malaysia). Hal yang paling mencengangkan adalah penggunaan Ringgit sebagai alat tukar menukar barang yang SAH dan diakui oleh penduduk Sebatik. Uang ringgit adalah hal biasa dan mudah ditemui di kawasan ini, dan masih banyak aspek-aspek lainnya yang lebih berpatokan dengan Negeri Jiran ini bila dibandingkan ke Indonesia.


Jika dibiarkan tanpa perhatian yang serius, bukan tidak mungkin ideologi pancasila akan semakin digerogoti, bukan tak mungkin anak-anak di kawasan perbatasan bisa menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia tetapi tak hafal lagu kebangsaan Indonesia “ Indonesia Raya”, sungguh suatu hal yang sangat tak diharapkan, dan penulis pun tak mau hal tersebut terjadi.

Salah satu penyebab terpuruknya kawasan perbatasan Indonesia adalah JANJI pemerintah Indonesia untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan sluruh tumpah darah indonesia yang masih sebatas JANJI. Kawasan perbatasan menginginkan janji itu direalisasikan, agar janji tak sebatas janji, atau janji yang akan dilupakan begitu saja. Secara khusus janji pemerintah ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk memajukan dan mempercepat oembangunan dan menjadikan kawasan perbatasan ini layak disebut sebagai GARDA TERDEPAN Negeri Indonesia.

Melihat bukti dan fakta yang ada sekaang ini pemerintah belum memiliki keseriusan yang tinggi terhadap Kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan masih di-“anak tirikan” dengan daerah lainnya yang berada di pulau Jawa. Penulis berpendapat bahwsanya pemerintah RI masih lemah dalam pemahaman atas konsepsi ruang negara yang dimiliki oleh para pejabat negara ini.

Dan ironisnya adalah kawasan perbatasan seolah olah menerima semua kenyataan pahit yang mereka terima selama ini. Sejauh ini belum ada upaya yang kuat dari kawasan perbatasan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah agar memenuhi janjinya. Adapun bentuk demonstrasi yang terjadi masih dalam skala kecil, dan kurang mewakili kawasan perbatasan yang lainnya. Anggota DPR, DPRD, dan DPD sebagai wakil rakyat pun terkesan mengumbar janji manis, namun tanpa aksi nyata. Bukankah setiap warganegara dimanapun dia berada ketika disebut sebagai warganegara indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan dan kehidupan yang layak. Bukan hal ini dijamin dalam UUD 1945, dan itu merupakan bentuk amanah yang seharusnya dilakukan.

Melihat sejarah bahwa indonesia pernah memiliki kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Ternate-Tidore dan lainnya sudah memberikan bukti bahwa bangsa Indonesia pernah berjaya dan disegani dengan menguasai dan memanfaatkan potensi kelautan yang dimiliki. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan perubahan paradigma pembangungan nasional dengan mengoptimalkan potensi yang telah tersedia di negeri maritim ini.

Jangan pernah biarkan kawasan perbatasan ini merana sendiri, tanpa pendamping. Kawasan perbatasan menginginkan aksi nyata dari janji janji pemerintah, jangan biarkan meraka hidup dalam kesabaran tak berbatas; mereka warga negara Indonesia juga yang siap mati membela kejayaan indonesia, jangan sia –siakan mereka. Jangan biarkan garuda dicengkaram oleh harimau malaya yang sedang kelaparan.