Desember, 2013
Aku datang kesini, ke tanah yang
menjadi tapal batas indonesia-Malaysia disertai sebuah langkah kecil nan
sederhana. Untuk berbagi ilmu yang aku punya dan untuk mencerdaskan
generasi-generasi emas Indonesia yang ada di wilayah ini. Menjadi bagian dari daerah
yang disebut tertinggal oleh sebagian orang. Tak hanya sebatas menjadi tapal
batas, namun menjadi pintu gerbang dan potret pembangunan di negaraku.
Aku adalah anak pertama pasangan Bapak
Asikin Umar dan Ibu Raminten. Universitas Lampung adalah almamater yang
menghantarkan ku sampai di daerah ini, dengan bidang keahlian Pendidikan
geografi. Aku menamatkan kuliah ku pertengahahun tahun 2013. Sebelumnya Aku
telah menjadi tentor mengajar di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar terkenal di
daerah asalku, Kota Bandar Lampung. Aku meninggalkan pekerjaan ku untuk mengisi
perjuangan Kemerdekaan di Indonesia. Menjadi bagian dari pengajar muda program
Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Hidup adalah perjuangan. Itulah
pepatah yang terus aku ingat. Pepatah yang aku dapatkan semasa menjadi
mahasiswa dulu. Perjuangan itupun dimulai dari sejak masih dalam rahim, dan
ketika aku lahir aku adalah seorang Pemenang. Hal inilah yang aku simpulkan bahwa
setiap orang adalah pemenang sejak lahir. Kemenangan itu juga yang mengantarkan
ku ke Pulau Sebatik, dalam rangka pembangunan pendidikan di daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal. Dari 30.000 pendaftar hanya 3000 orang saja yang
dikirim menjadi pengajar muda di seluruh Indonesia, dan salah satunya adalah
aku.
***
Prasasti yang tertulis di depan
Sekolah ku bertuliskan SMA Negeri 1 Sebatik Tengah. Itu adalah sekolah tujuan
ku, Naungan ilmu ku selama 1 tahun ini. Disinilah tempat ku merajut asa selama
di tanah rantau. Sekolah ku berdiri tahun 2010, atas inisiatif dari pemerintah
setempat mengingat jumlah lulusan sekolah menengah pertama terus meningkat dan
hal ini dirasakan perlunya sebuah sekolah baru. Sekolah negeri yang ada
letaknya pun jauh dari desa ini.
Angkatan pertama sekolah ku dimulai tahun
2013. Empat tahun berjalan, sekolahku telah mengalami tiga kali pergantian
personel pimpinan. dimulai dari Pak Sukardi sebagai pejabat PLT selama 2 tahun, selanjutnya Pak La Alimu selama dua tahun, dan sekarang adalah Pak Sudirman.
Pak Dirman, begitulah kami menyapanya. Beliau telah menjadi bagian dari sistem
pendidikan menengah di wilayah sebatik tengah selama dua bulan. Sebelum menjadi
kepala sekolah, beliau adalah guru bidang kimia di SMA Negeri 1 Sebatik.
Sebagai kepala sekolah baru, beliau memiliki komitmen yang tinggi serta Semangat
nya yang membara memancarkan sebuah aura tersendiri disni. Seolah memecah
suasana yang hening.
Guru berstatus plat merah berjumlah 4 orang, itu pun sudah termasuk pimpinan ku. 12
orang guru lainnya yang berstatus sebagai tenaga bantu. Mereka adalah
pendidik-pendidik muda yang ingin mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan
Indonesia. Status tak terlalu dipermasalahkan disini, yang terpenting adalah
kontribusi aktif untuk memajukan pendidikan di tapal batas Indonesia. Guru yang
ada saat ini adalah 21 orang. Sekolahku mendapatkan tambahan guru bantu lima
orang. Jumlah ini dirasa sudah cukup mampu melayani 250 siswa yang ada. Kekurangan
tenaga pengajar memang menjadi sebuah persoalan, namun kami disini bisa
mengatasinya dengan baik. Jadikanlah masalah menjadi peluang. Itulah dinamika
kehidupan pendidikan di daerah perbatasan.
***
Kerapihan, disiplin, dan tanggung
jawab serta keramahan adalah kata kunci yang ada di sekolah ku. Banyak siswa
yang masih belum paham mengenai esensi dari nilai-nilai tersebut. Mengingatkan
siswa mengenai hal tersebut menjadi momok yang luar biasa. Para guru sudah
beberapa kali berganti metode, peningkatan keteladan sikap itu juga telah
mengalami sedikit peningkatan dari sebelumunya, namun hasil yang memuaskan
belum juga di dapatkan. Alhasil, perjuangan menerapkan kedisiplinan berjalan
terseok-seok seperti meander yang ada
di daerah dataran rendah.
SMA Negeri 1 sebatik tengah belum
memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Gedung yang ditempati sekarang juga
masih menumpang di bangunan SD-SMP. Siswa menimba ilmu dengan alat-alat yang
sederhana. Namun tak mengurangi arti dari sebuah pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang berjalan selama ini masih berpusat pada guru, karena sumber
belajar yang lain seperti buku, kurang memadai. Untuk penggunaan alam sebagai
bagian dari metode pembelajaran telah dilakukan, mengingat tanah di daerah ini
kaya akan hasil bumi.
Sebuah papan nama bertuliskan ruang TU
SMA. Nyatanya itu adalah ruang ruang serbaguna, serba ada, dan ruang siapa
saja. Ruang berukuran 6x4 meter itu adalah ruang TU, merangkap ruang Guru, sekaligus
ruang Kepala Sekolah. Kesederhanaan ini tak membuat kami berkecil hati. Di
ruang mini ini, para punggawa SMA terus bekerja keras demi terciptanya sebuah
pendidikan yang berkualitas. Optimalsisasi dan keselarasan dengan jalannya sistem
pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terus di geber, dengan sebuah
alat sederhana, ingin menciptakan hasil yang luar biasa. Keteguhan guru-guru
disini juga membuat pelayanan pendidikan di dapat dengan lebih mudah.
Sudah empat tahun sekolah ini berdiri.
Jumlah siswa yang ada juga terus meningkat. Peningkatan ini merupakan dampak
bahwa masyarakat daerah perbatasan sudah mengetahui bahwa peranan pendidikan
dalam dunia kehidupan sangat penting. Mereka ingin menyeimbangakan keadaan
pendidikan disini dengan negeri tetangga, Malaysia. Tak ayal, fasilitas
pendidikan yang ada dipenuhi oleh siswa-siswi yang mayoritas orang tuanya
bekerja sebagai tenaga kerja indonesia di Malaysia. Siswa disini juga terus
bergonta-ganti, ada yang pindah, namun ada pula yang masuk.
***
Ada sesosok siswa yang membuat ku
teretegun sejenak. Siswa yang mencuri perhatian ku selama di sekolah. Siswa ini
berkerja sebelum sekolah dimulai, dan kembali bekerja setelah sekolah usai. Ada nama yang akan kusebut, ia adalah Rahwil. Jadi, siswa ku ini
adalah siswa yang mandiri, bertanggung jawab. Ia memiliki pekerjaan
tambahan yang berbeda-beda. Selama masa pengamatannku di sekolah, aku baru
mengetahui kalo ia bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi.
Aco, panggilan akrab siswa kelas XII
IPS dari teman-temannya. Dia memiliki seorang kakak laki-laki dan adik. Selama
beberapa hari lalu, siswaku ini bekerja. Pekerjaannya terdolong cukup berat
untuk ukuran siswa menengah atas. Dia bekerja sebagai kuli di proyek
pembangunan jalan kendaraan roda dua di sekolah. Pekerjaannya itu juga terus berganti sesuai dengan "musim kerja", ada kalanya ia akan bekerja di kebun, menggali drainase, membangun rumah atau memasang keramik.
Alasannya bekerja
adalah tidak ingin merepotkan anggota keluarganya, khususnya adalah kakak laki-lakinya. Upah yang didapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, membeli semua barang yang dibutuhkannya, termasuk peralatan sekolahnya. Ayah dan ibunya
bekerja di daerah lain.
Ini adalah sebuah dilema,
dimana kewajiban utamanya adalah sekolah. Namun, karena tuntunan hidup yang
begitu kuat memaksanya untuk melakukan ini. aku yakin dengan Optimisme dan ketekunannya untuk terus sekolah kelak akan
menjadikannya sebagai orang besar. Gapai terus cita-citamu Siswaku. Kehidupan ini pasti akan berbuah menjadi sesuatu yang manis.
Alhamdulillah dan syabas.
BalasHapus