Minggu, 17 November 2013

NKRI HARGA MATI



September 14th 2013

Untuk yang pertama kalinya aku akan membuat sejarah hidupku yang berbeda. Menginjakkan kaki di tanah Borneo adalah pengalaman pertamaku merantau selama masa mudaku. Sebuah tanah yang kaya akan kekayaan sumber daya alam emas dan intan atau yang sering kita sebut dengan tanah Kalimantan. Borneo adalah tanah rantau pertama yang akan aku jajaki selama satu tahun ini. Ketika mendengar kata borneo, langsung terbesit dalam benakku hamparan hutan yang hijau terbentang sepanjang garis khatulistiwa, sungainya yang panjang meliuk-liuk bak ular sanca yang sedang berjalan, tanahnya yang masih hitam legam namun meyimpan sejuta kekayaan.

Ternyata apa yang aku fikirkan itu sama persis setelah aku melihatnya melalui perjalanan panjang diatas langit biru. Hamparan hutan dan kebun kelapa sawit hijau membuat ilusi di mataku, takjub melihat ciptaan Tuhan semesta alam atas karunia yang diberikannya. Sungainya yang panjang masih meliuk-liuk indah dengan warna hitam-kecokelatan. Tuntutan ekonomi membuat eksplorasi sumber daya disini semakin besar dan tak memperhatikan keindahan sungai yang dulunya jernih ini.

Kusebrangi langit jawa-kalimantan menggunakan sebuah burung besi selama 3 jam perjalanan dari Soekarno-Hatta airport, selanjutnya dilanjutkan dengan mengarungi lautan biru selama 3 jam dari pelauhan Juwata Tarakan, Kalimantan Utara (dulunya adalah Kalimantan Timur) perjalanan belum usai karena aku harus menapaki tanah ini selama 30 menit perjalanan darat, dan sampailah satu rombongan peserta SM-3T di Kota Nunukan, ibu kota Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Tapi itu bukan daerah tujuan ku. Yang benar saja fikirku, perjalanan udara, laut dan darat sudah kulakukan semua, namun aku belum sampai ke daerah yang dituju. Aku menginap di kota nunukan selama 2 hari sebelum melanjutkan perjalanan di pulau sebatik. Sisi positinya adalah aku bisa mengamati karakteristik dan mencoba untuk beradaptasi dengan masyarakat disini terlebih dahulu sebelum tinggal di  daerah sasaran.

Aku ditugaskan di Kecamatan Sebatik Tengah, salah satu kecamatan baru hasil kebijakan desentralisasi dari otonomi daerah . Pulau kecil bernama sebatik ini dikenal dengan dua hak kepemilikan tanah secara sah. Secara de facto diakui oleh seluruh penjuru dunia. Pulau sebatik ini terbagi kepemilikkanya antara Indonesia dan Malaysia. Tanah yang berada di ujung luar Indonesia pun membutuhkan sentuhan dan belaian lembut ibu pertiwi.

Untuk mencapai pulau sebatik, aku harus melanjutkan perjalanan dari kota Nunukan menuju Pelabuhan Sungai Jepun selama 1jam, langkah berikutnya berganti dengan perjalanan menyebrangi lautan. Menumpang perahu yang bermuatan 10-15 orang dengan mesin dompeng, dan ditemani gelombang laut yang cukup tenang, akhirnya setelah 30 menit berada diatas perahu sampailah aku di pelabuhan Mantikas, ujung selatan pulau sebatik dalam kondisi asin. Selama 2,5 jam kedepan dilanjutkan perjalanan darat melewati jalan aspal yang berdebu ketika langit tak sedang berduka dan merintihkan air mata.

Sepanjang perjalanan menuju kecamatan sebatik tengah, pemandangan yang nampak adalah hamparan perkebunan kelapa sawit hijau yang lebat, tajuknya yang berbentuk bintang, dan alurnya teratur cepat kukenali, sampai aku bingung memikirkan batas kepemilikkannya karena begitu luas. Seorang guru muda yang menjemputku berasal dari tempaku mengajar nanti mengatakan bahwa hamparan perkebunan sait luas ini 2/3 nya dimiliki oleh seorang saja. Subhanallah, anak adam diberikan amanah untuk mengolah dan menjaga kekayaan yang begitu luas di pulau Sebatik ini.

Akhirnya sampailah aku di Kota Sungai nyamuk tak lain tak bukan adalah ibu kota kecamatan sebatik. Tak ada yang istimewa dengan kota ini, mungkin setara dengan kota kelurahan di tempat asalku. Inilah kota yang menjadi urat nadi dan tumpuan Pulau Sebatik. Sebuah pertanda aku juga akan menggantungkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup serta mengurus advokasi pendidikan yang akan aku lakukan. Lagi-lagi bukan kota inilah tempat tujuan pengabdian dan pembelajaran diriku nanti. Desa Aji Kuning, nama unik yang akan menyimpan sejuta rasa penasaran ku. Tak lama lagi aku akan menginjakkan kaki disana.

Sinar mentari menuju ufuk barat di hari ketigaku tiba di kabupaten Nunukan, akhirnya aku berhasil menemukan sebuah perkampungan kecil beralaskan kayu, dinding nya pun terbuat dari kayu, dengan tajuk-tajuknya yang tinggi menjulang. Desa inilah yang ku sebut dengan AJi Kuning. Desa yang berbatasan darat dan perairan dengan Negara Malaysia. Desa yang ditakdirkan ada dalam sejarah hidupku. Tempat terbaik dimana aku ditempatkan.

“Guru...guru SM-3T datang” begitulah sapa dan riuh suara yang terdengar dari rekan SM-3T ku yang lainnya begitu aku diperkenalkan dengan rekan guru yang lainnya. Ketika sampai di Desa Aji Kuning, aku langsung menuju sekolahku mengajar nantinya, hal ini dilakukan mengingat sekolahku masuk sore hari dan kekurangan tenaga pendidik. Bapak-bapak berbadan kekar dan gelap, ibu-ibu guru yang tersenyum dengan wajah yang riang menyambutku begitu tiba di sekolah ini. Menayakan banyak hal tentangku dan rekanku begitu tiba disini. Logat melayu guru dan siswa serta masyarakat disni membuatku kikuk, karena ada beberapa kata yang masih belum  ku mengerti. Ternyata eksistensi bahasa melayu lebih menjamur bia dibandingkan dengan bahasa asli Indonesia. Sungguh ironi, namun inilah fakta yang terjadi di tanah ibu pertiwi ini.

Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di pulau sebatik adalah “Benar-benar desa di tepi perbatasan”. Perbatasan yang dipisahkan hanya dengan sebuah patok kecil berukuran tak lebih dari 30x30cm. Sebuah patok yang memiliki sejuta makna. Sebagai pembatas segala hal yang menyangkut hubungan kenegaraan termasuk status kewarganegaraan.

Hampir semua warga di Aji Kuning menggunakan bahasa melayu dengan logat khas dari Negeri Jiran, Malaysia. Kadang tercengang juga aku dibuatnya, karna nyaris semua warga tak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Menurutku, mereka bukan penutur bahasa Indonesia yang baik, namun mereka tetap menjunjung tinggi rasa cinta tanah air.

Rumah panggung yang menjulang tinggi sebuah gambaran pemukiman penduduk bugis yang menetap di desa Aji kuning. Desa yang terletak di garda terdepan NKRI. Mata pencaharian utama penduduknya adalah nelayan atau petani. Hampir semua rumah berbentuk panggung dan terbaut dari kayu. Jarang ada sentuhan arsitektur modern menyambangi bangunan disini. Tradisonal namun elok dipandang. Di tepian sungai rumah panggung warga dibanjiri oleh parkiran perahu kayu, berjajar apik di sisi-sisi sungai. Sungguh besar karunia Tuhan yang mencipatakan semesta alam. Menurutku, “tempat terindah adalah tempat yang dapat membuat hati nyaman”. Masyarkat disni menyebut bahwa, “kalau tinggal di Aji kuning, bisa dikatakan dapurnya ada di Malaysia, sedangkan ruang tamu ada di Idonesia. Itu adalah gambaran desaku, Aji Kuning yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia. Semoga masyarakat desa ini dapat menjaga desa ini dengan baik dan arif. NKRI harga Mati.



***Finish***

Desi Imanuni
Angkatan 3 SM-3T Kabupaten Nunukan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar