September 14th 2013
Untuk yang pertama kalinya aku akan
membuat sejarah hidupku yang berbeda. Menginjakkan kaki di tanah Borneo adalah
pengalaman pertamaku merantau selama masa mudaku. Sebuah tanah yang kaya akan
kekayaan sumber daya alam emas dan intan atau yang sering kita sebut dengan
tanah Kalimantan. Borneo adalah tanah rantau pertama yang akan aku jajaki
selama satu tahun ini. Ketika mendengar kata borneo, langsung terbesit dalam
benakku hamparan hutan yang hijau terbentang sepanjang garis khatulistiwa, sungainya
yang panjang meliuk-liuk bak ular sanca yang sedang berjalan, tanahnya yang
masih hitam legam namun meyimpan sejuta kekayaan.
Ternyata apa yang aku fikirkan itu
sama persis setelah aku melihatnya melalui perjalanan panjang diatas langit
biru. Hamparan hutan dan kebun kelapa sawit hijau membuat ilusi di mataku,
takjub melihat ciptaan Tuhan semesta alam atas karunia yang diberikannya.
Sungainya yang panjang masih meliuk-liuk indah dengan warna hitam-kecokelatan.
Tuntutan ekonomi membuat eksplorasi sumber daya disini semakin besar dan tak
memperhatikan keindahan sungai yang dulunya jernih ini.
Kusebrangi langit jawa-kalimantan
menggunakan sebuah burung besi selama 3 jam perjalanan dari Soekarno-Hatta airport, selanjutnya dilanjutkan dengan
mengarungi lautan biru selama 3 jam dari pelauhan Juwata Tarakan, Kalimantan
Utara (dulunya adalah Kalimantan Timur) perjalanan belum usai karena aku harus
menapaki tanah ini selama 30 menit perjalanan darat, dan sampailah satu
rombongan peserta SM-3T di Kota Nunukan, ibu kota Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Utara. Tapi itu bukan daerah tujuan ku. Yang benar saja fikirku, perjalanan
udara, laut dan darat sudah kulakukan semua, namun aku belum sampai ke daerah
yang dituju. Aku menginap di kota nunukan selama 2 hari sebelum melanjutkan
perjalanan di pulau sebatik. Sisi positinya adalah aku bisa mengamati
karakteristik dan mencoba untuk beradaptasi dengan masyarakat disini terlebih
dahulu sebelum tinggal di daerah sasaran.
Aku ditugaskan di Kecamatan Sebatik
Tengah, salah satu kecamatan baru hasil kebijakan desentralisasi dari otonomi daerah . Pulau kecil bernama sebatik ini
dikenal dengan dua hak kepemilikan tanah secara sah. Secara de facto diakui oleh seluruh penjuru
dunia. Pulau sebatik ini terbagi kepemilikkanya antara Indonesia dan Malaysia. Tanah
yang berada di ujung luar Indonesia pun membutuhkan sentuhan dan belaian lembut
ibu pertiwi.
Untuk mencapai pulau sebatik, aku harus
melanjutkan perjalanan dari kota Nunukan menuju Pelabuhan Sungai Jepun selama
1jam, langkah berikutnya berganti dengan perjalanan menyebrangi lautan.
Menumpang perahu yang bermuatan 10-15 orang dengan mesin dompeng, dan ditemani gelombang laut yang cukup tenang,
akhirnya setelah 30 menit berada diatas perahu sampailah aku di pelabuhan
Mantikas, ujung selatan pulau sebatik dalam kondisi asin. Selama 2,5 jam
kedepan dilanjutkan perjalanan darat melewati jalan aspal yang berdebu ketika
langit tak sedang berduka dan merintihkan air mata.
Sepanjang perjalanan menuju
kecamatan sebatik tengah, pemandangan yang nampak adalah hamparan perkebunan
kelapa sawit hijau yang lebat, tajuknya yang berbentuk bintang, dan alurnya
teratur cepat kukenali, sampai aku bingung memikirkan batas kepemilikkannya
karena begitu luas. Seorang guru muda yang menjemputku berasal dari tempaku
mengajar nanti mengatakan bahwa hamparan perkebunan sait luas ini 2/3 nya
dimiliki oleh seorang saja. Subhanallah,
anak adam diberikan amanah untuk mengolah dan menjaga kekayaan yang begitu luas
di pulau Sebatik ini.
Akhirnya sampailah aku di Kota
Sungai nyamuk tak lain tak bukan adalah ibu kota kecamatan sebatik. Tak ada
yang istimewa dengan kota ini, mungkin setara dengan kota kelurahan di tempat
asalku. Inilah kota yang menjadi urat nadi dan tumpuan Pulau Sebatik. Sebuah pertanda
aku juga akan menggantungkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup serta mengurus
advokasi pendidikan yang akan aku lakukan. Lagi-lagi bukan kota inilah tempat
tujuan pengabdian dan pembelajaran diriku nanti. Desa Aji Kuning, nama unik
yang akan menyimpan sejuta rasa penasaran ku. Tak lama lagi aku akan
menginjakkan kaki disana.
Sinar mentari menuju ufuk barat di
hari ketigaku tiba di kabupaten Nunukan, akhirnya aku berhasil menemukan sebuah
perkampungan kecil beralaskan kayu, dinding nya pun terbuat dari kayu, dengan
tajuk-tajuknya yang tinggi menjulang. Desa inilah yang ku sebut dengan AJi
Kuning. Desa yang berbatasan darat dan perairan dengan Negara Malaysia. Desa
yang ditakdirkan ada dalam sejarah hidupku. Tempat terbaik dimana aku
ditempatkan.
“Guru...guru SM-3T datang” begitulah
sapa dan riuh suara yang terdengar dari rekan SM-3T ku yang lainnya begitu aku
diperkenalkan dengan rekan guru yang lainnya. Ketika sampai di Desa Aji Kuning,
aku langsung menuju sekolahku mengajar nantinya, hal ini dilakukan mengingat
sekolahku masuk sore hari dan kekurangan tenaga pendidik. Bapak-bapak berbadan
kekar dan gelap, ibu-ibu guru yang tersenyum dengan wajah yang riang
menyambutku begitu tiba di sekolah ini. Menayakan banyak hal tentangku dan
rekanku begitu tiba disini. Logat melayu guru dan siswa serta masyarakat disni
membuatku kikuk, karena ada beberapa kata yang masih belum ku mengerti. Ternyata eksistensi bahasa
melayu lebih menjamur bia dibandingkan dengan bahasa asli Indonesia. Sungguh
ironi, namun inilah fakta yang terjadi di tanah ibu pertiwi ini.
Kesan pertama ketika menginjakkan kaki
di pulau sebatik adalah “Benar-benar desa di tepi perbatasan”. Perbatasan yang
dipisahkan hanya dengan sebuah patok kecil berukuran tak lebih dari 30x30cm.
Sebuah patok yang memiliki sejuta makna. Sebagai pembatas segala hal yang
menyangkut hubungan kenegaraan termasuk status kewarganegaraan.
Hampir semua warga di Aji Kuning menggunakan
bahasa melayu dengan logat khas dari Negeri Jiran, Malaysia. Kadang tercengang
juga aku dibuatnya, karna nyaris semua warga tak bisa menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik. Menurutku, mereka bukan penutur bahasa Indonesia yang
baik, namun mereka tetap menjunjung tinggi rasa cinta tanah air.
Rumah panggung yang menjulang tinggi
sebuah gambaran pemukiman penduduk bugis yang menetap di desa Aji kuning. Desa
yang terletak di garda terdepan NKRI. Mata pencaharian utama penduduknya adalah
nelayan atau petani. Hampir semua rumah berbentuk panggung dan terbaut
dari kayu. Jarang ada sentuhan arsitektur modern menyambangi bangunan disini.
Tradisonal namun elok dipandang. Di tepian sungai rumah panggung warga
dibanjiri oleh parkiran perahu kayu, berjajar apik di sisi-sisi sungai. Sungguh
besar karunia Tuhan yang mencipatakan semesta alam. Menurutku, “tempat terindah
adalah tempat yang dapat membuat hati nyaman”. Masyarkat disni menyebut bahwa,
“kalau tinggal di Aji kuning, bisa dikatakan dapurnya ada di Malaysia,
sedangkan ruang tamu ada di Idonesia. Itu adalah gambaran desaku, Aji Kuning
yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia. Semoga masyarakat desa ini dapat
menjaga desa ini dengan baik dan arif. NKRI harga Mati.
***Finish***
Desi Imanuni
Angkatan 3 SM-3T Kabupaten Nunukan
Tidak ada komentar :
Posting Komentar