Prasasti semen yang berdiri tegak angkuh di depan banguan sekolah itu bertuliskan SDN 006 – SMPN 1 – SMAN 1 Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Bangunan sekolah yang ada adalah milik SD 006 dan SMPN 1 Sebatik tengah, meskipun ada 3 sekolah dalam papan nama terseebut, hanya SMAN 1 yang belum memiliki bangunan sekolah sendiri. Untuk kegiatan pembelajaran, masih menumpang di dalam gedung sekolah dasar dan menengah pertama.
Bangunan sekolah itu berdiri kokoh
diantara rimbunnya perkebunan kelapa sawit. Seolah memberi warna tersendiri
ditengah hijaunya daun. Riuhnya anak-anak bermain jadi satu-satunya penanda
aktivitas sekolah itu tetap berdenyut menyelingi alunan merdu suara daun yang
berguguran dan angin yang lewat. Letaknya di tepi jalan namun dikelingi oleh
kebun sawit membuat sekolah ini memiliki aura tersendiri. Seakan memecah
bisunya suasana yang begitu sunyi sepi.
Sinar surya di ufuk timur
menghangatkan pagi, mengganti dingin yang dihembuskan angin darat sepanjang
malam. Penduduk asli di desaku adalah Dayak Tidung. Sebuah nama suku penduduk
asli tanah Kalimantan yang berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat tidung
tinggal tak jauh dari tepi pantai dengan rumah panggung tinggi menjulang diatas
laut. Separuh lainnya adalah transmigran. Kebanyakan datang dari Sulawesi,
seperti Ibu Sade ini yang berasal dari Enrekang, Sulawesi Selatan. Ibu sade
merupakan seorang ibu rumah tangga, yang menjadi kepala keluarga di tempat
tinggal ku sekarang ini.
Sebagian dari mereka (Read:Suku
Bugis) memiliki mata sipit, berkulit terang dengan rambut lurus sampai ikal, sedangkan
lainnya berkulit gelap dengan rambut keriting. Ada pula transmigran dari suku
Timor, Jawa. Di sini mereka melebur dan menyandang identitas baru sebagai orang
Sebatik. Sebatik merupakan daerah yang paling dekat dengan Negara Malaysia.
Wajar saja jika banyak penduduk lain berpindah ke Sebatik. Lokasi yang
strategis menarik para urban untuk mengadu nasib di Negeri Jiran, Malaysia.
Sebelum hijrah menuju Kota Tawau, biasanya penduduk akan menetap dulu di
Sebatik. Alhasil jumlah penduduk sebatik terus bertambah sepanjang waktu, namun
hal ini juga dibarengi dengan banyaknya imigran yang menyebarang ke Kota Tawau,
Kinabalu atau daerah yang lainnya. Motivasi utamanya tak lain tak bukan adalah
peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Kelompok yang lain adalah anak Timor
biasa bermain dipayungi rindangnya pohon besar di depan kelasnya. Sebagian dari
mereka dapt langsung dikenali dengan melihat warna kulit yang sangat menyolok
dengan rambut ikal dan bentuk mata yang besar. Di lapangan, terlihat beberapa
murid lelaki sedang bermain voli, yang wanita seru mengobrol bergerombol di
pojokan. Sementara, petugas piket sibuk mengusir anjing yang berkeliaran. Anjing
di Sebatik memang dilepas liar sehingga selalu buang kotoran di mana saja.
Populasi anjing disini sudah tak dapat terhitung jumlahnya, namun hewan
tersebut sudah tidak galak lagi.
Hari itu aku sedang belajar menulis cita-cita.
Ini adalah hari pertamaku belajar dengan siswa-siswa SMAN 1 sebatik tengah. Aku
masuk menggantikan seorang guru PKn yang tak bisa hadir pada hari ini. Perkenalan
sedang dimulai, jadi aku meminta mereka untuk menuliskan cita-cita hidupnya
kelak. Ketika hari pertama belajar dengan saya sedikit terkejut karena Wahid,
siswa kelas XI IPA yang berusia 16 tahun ini mengatakan “Saya belum memiliki
cita-cita bu”. Cita-cita masa depan masih ia fikirkan, cita-cita yang lalu ia
sudah lupa entah apa. Pada umumnya anak seumuran wahid sudah dapat mengucapkan
beberapa penggal kalimat yang akan digapainya di masa depan. Masa depan yang
menjadi gambaran mereka. Sungguh ironi memang, siswa kelas XI belum dapat
menyatakan dengan jelas apa tujuan yang akan dicapinya kelak.
Desi Imanuni
Angkatan ke-3 SM-3T Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Utara
Tidak ada komentar :
Posting Komentar