** Allahuakbar… Allahuakbar…
Allahuakbar
Laa ilahaillallah huallah huakbar
Allahuakbar walillah ilham
Begitulah alunan merdu
takbir semalam. Suaranya menggema sampai keseluruh daratan di negeri ini. Takbir
ini takkan berhenti hari ini saja, selama 3 hari kedepan masih akan terdengar
puji pujiaan ini. Perayaan idul adha dirayakan selama 4 hari yaitu tanggal 10,11,12
dan 13. Penduduk disini mayoritas beragama islam, tak heran ayat-ayat suci
sudah sering terdengar dari pengeras masjid yang ada disini. Meskipun ada yang
beragama lain, toleransi masih dipegang kuat. Tak ada pertentangan terjadi
meskipun berbeda, karena negeri kita saja memiki ribuan suku dengan berbagai
bahasa dan kebudayaan serta meyakini kepercayaan yang berbeda pula. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika masih dipegang erat di tanah ini.
Sekarang aku tinggal di
Sempadan, daerah perbatasan Indonesia-Malaysia begitulah seorang ibu setengah
baya menyebut Desa Aji Kuning ini. Disinilah tempatku mengabdikan diri selama
365 hari mendatang, 48 minggu, bisa disebut dengan satu tahun lamanya. Aku
tinggal disini karena sedang melaksanakan pengabdian menjadi tenaga pendidik di
daerah terdepan, terluar dan tertinggal.
10 dzulhijah menghampiriku
di tanah rantau, di tanah Kalimantan. Esok hari aku akan merayakan hari raya Idul
Kurban. Hari dimana Nabi Ibrahim as Merelakan anak kesayangannya yaitu Ismail
untuk disembelih. Namun, karena ketaatannya Allah mengganti Ismail as dengan
seekor domba dari surga. Lebaran ini adalah lebaran pertama ku ditanah rantau,
jauh dari keluarga, dari bapak-mamakku, adikku dan dari teman terdekatku.
Rasa rindu terkadang
menyelinap dalam hati dan fikiranku. Teringat akan indahnya kampung halaman,
keluarga serta orang-orang yang ada didalamnya. Aku merindukan mereka, aku
ingin pulang, itulah hal-hal yang sempat terbersit di dalam fikiranku beberapa
waktu lalu. Khayalan itu kelamaan memudar, akibat tergerus oleh aktivitas
mengajarku disekolah. Ada hal yang lebih menantang menunggu di depanku, amanah
yang diberikan oleh negeri ini mesti aku lakukan. Akhirnya fikiran – fikiran
ingin pulang menghilang begitu saja.
Masih terngiang dalam
otakku, “ kalau kamu ingin menjadi sebuah mutiara yang cantik dan indah ingatlah
perjuangan sebuah kerang. Kerang yang merasakan sakit, meneteskan air mata
ketika sebuah pasir menempel di tubuhnya. Ketika merasakan sakit dia tak bisa
menggarukknya, tak bisa melepaskan pasir tadi dari badannya. Hari demi hari
berjalan, dengan ketulusan, kesabaran, dan menahan semua rasa sakit yang ada
kelamaan pasir itu berubah menjadi sebuah mutiara yang indah. Rasa sakit yang
sebelumnya datang berganti dengan kebahagiaan” itulah pesan bapakku agar aku
kuat bertahan di tanah rantau ini.
Untuk menjadi seseorang
yang kuat dan dapat bertahan di dalam dunia yang penuh dengan ujian ini, mental
dan fisikku mesti digembleng. Dunia itu kejam, dan untuk tinggal di dunia yang
kejam ini dibutuhkan kemampuan beradaptasi yang tinggi, sehingga aku bisa
diterima dengan baik. Lamunan ku sirna begitu saja, tergantikan oleh riangnya
hati menyambut hari raya.
***
Suara takbir pagi ini
memanggilku untuk menunaikan sholat berjamaah. Aku melaksanakan sholat idul
kurban di masjid terdekat dengan rumah. Cuaca hari ini memang kurang bersahabat,
sampai pukul 07.00 WITA sang surya pun belum menampakkan batang hidungnya.
Tetesan air dari langit mengiringi jalannya sholat idul adha pagi ini. Beberapa
jamaah sholat ditemani tetesan air mata langit. Suasana menjadi semakin tak
menentu, namun sholat tetap berjalan dengan hikmad dan khusyuk.
Tetesan air langit semakin
deras, langit juga terlihat semakin memucat. Dua kali salam juga telah
dilaksanakan pertanda sholat ku telah usai. Aku dan jamaah yang lain segera
memasuki Rumah Allah yang berdiri kokoh ini. Sampai kapan hujan ini akan reda,
fikirku dalam hati. Hari raya pertama ku disambut dengan hujan. Hujan adalah
anugerah dan rejeki, ku ambil saja sisi positifnya keberadaan ku disini.
Tak lama berselang, Bu
Chia menyapa. Beliau adalah seorang guru bahasa inggris di sekolahku. Semangat
mudanya masih membara, menggebu-gebu ingin ditunjukkannya kepada dunia. “Ada
apa bu?” kataku. “kita1
duduk disini saja ibu”, seraya memberikan izin untukku duduk didekatnya dengan
logat melayunya kental terdengar. Aku duduk disamping ibu chia dan kedua buah
hatinya yang sangat cantik. Jiah dan jihan, itulah nama kedua jagoan kecil Ibu
Chia.
Sembari menanti hujan
reda, kami bercerita tentang daerah tempat tinggal ku sekarang ini. Mayoritas
penduduk di pulau sebatik ini adalah perantau. Suku Bugis, Timor, Tidung dan Jawa banyak mendiamai daerah disini. Meskipun
ada suku yang lain, namun jumlahnya terbatas. Sulawesi selatan adalah kampung
halaman Ibu Chia. Setelah lulus kuliah beliau merantau ke pulau sebatik ini,
sempat menjadi guru honorer sebelum diterima menjadi Pengawai Negeri Sipil
(PNS). Orang dari rantau rupanya ibu guru ini, Bisiku dalam hati.
Selama menanti hujan reda,
aku bermain dengan jiah. Jiah terlihat lebih cepat bersosialisasi dengan orang
yang baru dikenal bila dibandingkan dengan jihan. Jiah saat ini berumur 4
tahun, dan masih belum sekolah. Tahun lalu di bersekolah di kelas pendidikan
anak usia dini, namun karena merasa bosan, dia tidak mau masuk sekoloh lagi.
Jiah merupakan anak yang aktif dalam segala hal. Kami berfoto, bercerita dan
mendengarkan celotehnya yang tak berhenti sepanjang hari itu.
Ada satu hal unik yang aku
peroleh dari pertemuanku dengan jiah hari ini. Meskipun baru berusia 4 tahun,
namun semangatnya untuk berbagi sudah tinggi. Dia begitu antusias ketika kotak
amal beredar. Dengan cekatan dia ingin memasukkan uang yang sudah ia siapkan
dari rumah tadi. “mana kotaknya?” jiah merengek dengan ibu chia ketika kotak
amal tak kunjung sampai ke tempat duduk kami.
Kotak amal ini memutar
mengelilingi jamaah yang hadir dalm sholat jamaah pagi ini. Dia telah
melihatnya jamaah yang berada jauh dari kami telah memasukkan uang ke kotak,
namun mengapa kotak tersebut tak samai ketempat kami. Alhasil Jiah merajuk2 karena tidak dapat
beramal. Lucu memang anak ini, aku saja dibuat kebingunan olehnya. Bingung
mencari dimana letak bangun kubus yang menghilang entah kemana. Barulah ketika
mau pulang, Jiah diperkenankan untuk memasukkan uang di kotak yang berda dekat
pintu masuk masjid, hal ituah yang membuatnya tersenyum kembali. Indahnya
berbagi memang harus diajarkan sejak dini, setuju sekali aku dengan pendidikan
ibu Chia ini. Aku sudah membayangkan jika nanti aku memiliki bauh hati, nanti
mau di ajarkan ini, itu, pokokny banyak, namun itu masih berada dalam khayalan
pagi ku.. Bu Chia pulang terlebih dahulu dengan kedua anakknya, sembari meminta
aku untuk berkunjung kerumahnya yang tak jauh dari masjid.
***
Air langit juga tak
kunjung berhenti, bahkan sang surya tampak malu untuk memunculkan diri pagi
ini. Seorang ibu setengah baya menyapa ku, “ Dimana teman kita yang lain?”. Ini
ada mb devi, kalau mb tanti ama mb bros blum tau ibu, ucapku. Itu adalah suara
makcik sade, ibu kos yang berjalan menghampiri ku. Beliau mengatakan sebaiknya
mampir dulu kerumah adiknya, karena rumahnya lebih dekat dengan masjid, bila
dibandingkan langsung pulang ke rumah kami.
Aku mencari kedua temannku
yang lain, mengajknya untuk segera pulang. Ku jumpai beberapa murid di sekolah,
mereka mengucapkan selamat hari raya dan kami pun saling bersalaman. Setelah
ketemu, barulah kami menuju rumah adik makcik. Perjalanan ini pun disertai
rintihan air langit yang tak kunjung berhenti. Ku tutupi kepala ku dengan
sajadah yang tadi kupakai untuk alas sholat.
Keputuskan untuk segera
pulang ini dibuat mengingat rumah adik makcik tak jauh dari sini, dari masjid
tempatku menunaikan ibadah. Sesampainya disana, kami disambut dengan suka cita,
layaknya kebersamaan ketika merauakan idul fitri. Bersalam salaman, mengucapkan
maaf dan selmat hari raya dan yang paling ditunggu adalah kami disuguhkan
Buras, atau Burassa. Buras merupakan makanan khas suku bugis, kalau orang jawa
menyebutnya dengan lontong, kalau orang lampung menyebutnya dengan sekubal3. Menikmati buras terasa
nikmat jika ditemani dengan sop hangat dan teh panas. Racikan makanan ini
sangat membantu menghangatkan badan yang menggigil kedinginan karena tersiram
paparan air langit.
Ditanah perantauan ini aku
merasakan indahnya kebersamaan, berbagi dan suasana kekeluargaan yang masih
erat dipegang teguh. Meskipun jauh dari orang tua dan keluarga yang lain, namun
cintaku untuk mereka meletup-letup melebihi ambang batas normal. Tanah rantau
tak selamanya membuat tak nyaman, jika kita bisa membuatnya nyaman, aman, dan
membuatnya seperti tanah kelahiran, insyaallah kita akan betah untuk tinggal
disini. Inilah daerahku, tempat tinggalku, tempatku mengabdikan diri, inilah
Indonesia ku, semua tempat di dunia masih Bumi Allah, hidup indonesiku semakin
cerah sinarmu.
Noted:
1. Kita artinya adalah kamu atau anda (bahasa melayu)
2. Merajuk artinya marah atau ngambeg1. Kita artinya adalah kamu atau anda (bahasa melayu)
3. Makanan khas lampung yang terbuat dari ketan
Kk Ros - Macik Sade- Nuril -Desi |
Kue Lebaran kami |
Pejuang Pendidikan Kaltara #SM3T |
# Desi Imanuni
Angkatan Ketiga SM-3T. 15
Oktober 2013. Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, Pulau Sebatik,
Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara